Review Novel 5cm
Pertama kali saya melihat novel 5cm adalah pada tahun 2006, waktu itu sih belum jadi bestseller. Melihat cover polos bewarna hitam doff bertuliskan 5cm, saya kira ini novel bertemakan crime-psychology,
namun setelah saya baca ringkasannya ternyata novel ini berceritakan
petualangan naik gunung. Kemudian secara acak saya baca beberapa
halamannya dan menemukan lirik-lirik lagu yang saya sukai. Jadi kesan
pertama saya atas novel 5cm lumayan bagus, karena selain saya juga suka
hiking, referensi lagu-lagu di 5cm juga cocok dengan saya.
Kesan yang berbeda saya dapatkan di tahun
2007, ketika salah seorang teman kampus yang sedang menyelesaikan
skripsi merekomendasikan 5cm. Katanya novel ini menginspirasi dan
memotivasi mahasiswa tingkat akhir dalam mengerjakan skripsi, saking
termotivasinya, teman saya ini seringkali mengutip kata-kata mutiara
dari 5cm. Namun sayangnya, insting membaca saya otomatis mengasosiasikan
istilah ‘inspirasi & motivasi’ dengan hal yang membosankan,
sehingga
aksi promosi teman saya ini menjadi peringatan bagi saya untuk tidak membaca novel 5cm.
aksi promosi teman saya ini menjadi peringatan bagi saya untuk tidak membaca novel 5cm.
Agustus 2013, setelah novel 5cm sudah menjadi penghuni tetap rak bestseller
di Gramedia dan juga telah diadaptasi ke layar lebar, akhirnya saya
baca juga novel ini. Jadi pertanyaanya, apakah kesan pertama saya benar,
bahwa novel ini bagus atau kesan kedua-lah yang benar, bahwa 5cm
membosankan? Jawabannya setelah sinopsis berikut ini.
Sinopsis:
Alkisah ada 1 geng pertemanan yang bosen
nongkrong, kemudian mereka mendaki Mahameru untuk menghadiri upacara
bendera 17 Agustus-an, selepas dari pendakian itu mereka jadi lebih
terinspirasi dan termotivasi . (udah itu aja, sekian, titik, full stop,
zip it)
Jawabanya adalah… novel 5cm membosankan, tapi menulis bad reviews
itu menyenangkan lho, jadi seperti kata pepatah berakit-rakit ke hulu,
berenang-renang ke tepian – bersakit-sakit membaca 5cm telebih dahulu,
bersenang-senang menghujat 5cm dalam review kemudian. Maka berikut
review rants terpanjang yang pernah saya tulis.
Masalah pertama saya dalam membaca 5cm adalah banyak sekali typo yang
membuat saya bertanya-tanya editor 5cm ini kerjanya apa saja. Membaca
5cm seperti membaca draft novel yang setengah jadi dan belum diperiksa
oleh editor. Tapi mungkin setelah menjadi bestseller dan dicetak ulang,
masalah typo ini sekarang sudah diperbaiki.
Masalah kedua adalah
soal plot cerita, setelah membaca sepertiga buku dan mengetahui bahwa
tokoh-tokoh utama di 5cm akan mendaki Mahameru, saya seakan diberikan
janji bahwa kisah pendakian tersebut akan dilalui dengan konflik yang
intens dengan cerita petualangan yang seru, atau sejelek-jeleknya
konflik soal romansa juga gak apa-apa lah ketimbang gak ada konflik sama
sekali.
Janji tinggal janji bulan madu hanya mimpi, karena yang
terjadi adalah walaupun tokoh-tokoh ini mayoritas awam dalam hal
mendaki gunung, pendakian mereka ke puncak Mahameru berjalan
lancar-lancar saja, satu-satunya titik cerita yang paling intens dalam
novel ini palingan ketika salah satu tokoh ketimpa batu, itupun hanya
diceritakan dalam beberapa paragraf, dan tau-tau sudah time-skip
terus tiba-tiba tokoh-tokoh utama udah berkeluarga dan punya anak.
Selesai membaca 5cm, saya jadi bengong ‘ini novel kok plot ceritanya
kayak teletubies, gak ada antagonis, gak ada konflik, damai gemah ripah loh jinawi’, saya serasa sudah kena troll tingkat tinggi dari Donny Dirghantoro, sang penulis 5cm.
Masalah ketiga adalah
gaya penceritaan. Mendeskripsikan sesuatu secara eksplisit, visual,
detail serta puitis sih boleh-boleh saja asal jangan berlebihan. Menurut
saya 5cm sudah overdosis dalam pendeskripsian eksplisit dan puitis ini,
sampai rasanya novel 5cm lebih mirip seperti kumpulan puisi tentang
naik kereta api dan mendaki gunung. Mungkin, sang penulis sudah
mendatangi sendiri semua tempat yang dituliskan dalam novel, dan dia
sangat excited untuk berbagi dengan para pembacanya.
Selain diterapkan pada setting tempat,
gaya deskripsi eksplisit-visual juga diterapkan terhadap tokoh-tokoh
utama, terlebih pada 3 tokoh wanita utama yang diceritakan mirip Andrea
the Corrs, Kate Winslet & Julia Roberts. Seakan-akan Donny
Dirghantoro ingin berbagai fantasi pribadinya dengan para
pembaca tentang tiga artis cantik tersebut. Jujur, dalam hal ini saya
tidak keberatan, bahkan kalau Donny Dirghantoro ingin menyaingi Fredy S
atau Enny Arrow dalam membuat novel semacam 50 Shades of Grey, ada kemungkinan saya akan membeli novel tersebut.
Masalah nomer empat
adalah referensi musik, film dan filosofi. Pada bab-bab awal, saya tidak
bermasalah dengan adanya kutipan lirik lagu karena saya juga menyukai
kebanyakan lagu-lagu yang dikutip oleh sang penulis. Tapi ya kira-kira atuh inikan
novel fiksi bukan majalah musik macam MDS atau gitar plus yg isinya
lirik lagu semua, gak usah tiap 2 halaman sekali dikasih lirik lagu.
Tentang film, alih-alih mengantarkan ide dari film dan filosofi, Sang penulis mungkin akan terlihat snob bagi
para pembaca yang tidak familiar dengan film yang direferensikannya.
Sementara soal ide-ide filosofi yang dicoba untuk disampaikan melalui
tokoh-tokoh utama, terasa tidak memiliki keterkaitan dengan cerita dari
5cm itu sendiri. Mungkin sang penulis berniat meniru novel Dunia Sophie
dalam hal mensisipkan ide-ide filosofi, akan tetapi kesan yang saya
dapat Donny Dirghantoro seakan hanya pamer wawasan musik, film dan
filosofi saja.
Sedangkan konsep nasionalisme yang dicoba untuk diangkat masih tidak jelas sampai akhir cerita, (atau entah mungkin saya yang gagal paham).
Sedangkan konsep nasionalisme yang dicoba untuk diangkat masih tidak jelas sampai akhir cerita, (atau entah mungkin saya yang gagal paham).
Masalah yang terakhir saya dengan 5cm adalah dengan upayanya yang lebay dalam memotivasi dan menggurui pembacanya. Menurut saya common sense akan lebih berguna daripada kata-kata mutiara motivasi yang ditawarkan novel 5cm. Contohnya: adalah common sense kuliah itu jangan lama-lama agar tidak menyusahkan orang tua, adalah common sense kalau masih amatiran ya jangan mendaki gunung tertinggi di Jawa, adalah common sense kalau mempererat persahabatan tidak perlu dengan melakukan kegiatan yang bisa membahayakan nyawa, adalah common sense kuliah di Inggris lebih bermanfaat daripada kuliah di Indonesia, dan terakhir adalah common sense bagi orang yang bakatnya jadi motivator untuk tidak menulis novel fiksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar